Anthrax, Ancaman Sepanjang Masa


Anthrax , Ancaman Sepanjang Masa


Indonesia sempat dikejutkan kasus anthrax pada sapi di Victoria dan New South Wales (Australia). Soalnya, sebagian daging sapi yang dijual di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia, berasal dari Australia. Untuk melindungi konsumen di Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan sempat mengeluarkan larangan sementara impor daging sapi dan bahan-bahan asal hewan dari Negeri Kanguru itu, sampai situasi benar-benar aman.

 Anthrax , Ancaman Sepanjang Masa   Indonesia sempat dikejutkan kasus anthrax pada sapi di Victoria dan New South Wales (Australia). Soalnya, sebagian daging sapi yang dijual di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia, berasal dari Australia. Untuk melindungi konsumen di Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan sempat mengeluarkan larangan sementara impor daging sapi dan bahan-bahan asal hewan dari Negeri Kanguru itu, sampai situasi benar-benar aman.    Awal tahun 2000,    kejutan datang lagi dengan munculnya anthrax di peternakan burung unta (Struthio camelus), di Purwakarta, Jawa Barat, bahkan satu-per satu warga yang terserang anthrax bermunculan. Meski umumnya unggas tahan terhadap anthrax, burung unta termasuk satwa yang peka.   Anthrax begitu ditakuti, karena selain bersifat zoonotik (dapat menular pada manusia), bakteri penyebab anthrax Bacilus Anthracis, sulit dimusnahkan. Negara maju seperti Australia, Amerika dan Inggris pun tidak mampu membebaskan diri dari anthrax. Jadi, sekali saja anthrax masuk ke suatu wilayah, ancamannya terhadap hewan maupun manusia di daerah tersebut sepanjang masa.   Vaksinasi   Propinsi Bali merupakan satu-satunya wilayah bebas anthrax di Indonesia selama seabad terakhir. Untuk menjaga Bali tetap bebas anthrax, larangan pemasukan hewan dan bahan asal hewan dari daerah tertular yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, perlu dipertahankan. Di daerah bebas anthrax seperti Bali, tidak perlu dilakukan vaksinasi, bahkan dilarang melakukan vaksinasi berdasarkan pertimbangan teknik/metik.   Pada daerah endemik anthrax, tindakan eradikasi atau pemberantasan merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Soalnya B anthracis dapat membentuk spora sehingga tahan terhadap kondisi alam selama puluhan tahun di dalam tanah.   Untuk mengamankan hewan dan manusia dari ancaman anthrax, tindakan vaksinasi hanya dilakukan pada ternak peka anthrax. Di Indonesia, vaksin anthrax diproduksi oleh Pusat Veterinaria Farma, Wonocolo, Surabaya. Makin besar angka cakupan (coverage) vaksinasi pada suatu populasi ternak, makin kecil kemungkinan tertular.   Idealnya, vaksinasi dilakukan pada 100 persen populasi ternak di daerah tertular dan terancam, namun situasi di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Keterbatasan dana juga jadi alasan klasik, sehingga hanya sebagian kecil mendapatkan vaksinasi.   Setiap dinas peternakan mempunyai catatan mengenai kejadian anthrax di wilayah masing-masing. Prioritas vaksinasi perlu diberikan pada kantung-kantung penyakit, yakni tempat asal mula kejadian penyakit. Vaksinasi harus tetap dilakukan secara teratur, meskipun tidak ditemukan kasus dalam kurun puluhan tahun.   Pada manusia, vaksinasi anthrax tidak lazim dilakukan, kecuali pada kondisi khusus, misalnya dikhawatirkan pemakaian senjata biologi pada suatu perang, seperti terjadi pada Perang Teluk beberapa tahun lalu.   Studi mengenai ekologi anthrax oleh Van Ness, menggambarkan bahwa B anthracis mengalami perkembangbiakan di tanah sebelum menginfeksi ternak. Kejadian ini umumnya berlangsung pada musim kemarau panjang. Oleh karena itu, vaksinasi anthrax seyogianya dilakukan pada awal musim kemarau.   Salah satu fungsi rumah pemotongan hewan (RPH) adalah sebagai filter atau pengaman konsumen dari penularan penyakit zonotik. Kondisi RPH di kota-kota besar umumnya sudah memadai, namun sebagian besar RPH di tingkat kabupaten masih jauh dari higienik.   Pemeriksaan hewan yang dipotong di RPH diawali dari pemeriksaan sebelum hewan dipotong (ante mortem) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan sesudah hewan dipotong (post mortem). Dalam kondisi tertentu dilakukan juga pemeriksaan laboratorik. Hewan penderita anthrax akan segera dikenali oleh petugas pemeriksa daging terlatih di RPH, sehingga tidak dapat lolos sampai ke konsumen.   Kejadian di Purwakarta baru-baru ini, di mana penduduk mengambil daging burung unta tanpa khawatir tertular anthrax menunjukkan bahwa penerangan tentang bahaya anthrax belum sampai ke masyarakat.   Pemanfaatan lahan   Lahan yang tercemar anthrax, seperti daerah peternakan burung unta masih dapat dimanfaatkan untuk tanaman keras seperti pepohonan. Ternak di wilayah tersebut di samping divaksinasi juga perlu dibatasi jumlah populasinya, sehingga tidak kekurangan hijauan makanan ternak.   Pengalaman penulis menyidik anthrax di Sumba tahun 1980, di mana ratusan ternak mati dan 14 orang tertular, memberi pelajaran epidemiologi menarik. Selama musim kemarau panjang, rumput amat jarang sehingga ternak memakan rumput sampai ke akarnya. Pada akar tersebut terbawa pula tanah berikut spora anthrax yang mematikan ternak.   Burung unta yang ada di Purwakarta kemungkinan besar tertular anthrax lewat tanah yang termakan. Ada baiknya wilayah peternakan tertular anthrax diberi tulisan permanen bersifat peringatan bahwa daerah tersebut tertular anthrax. Melalui tindakan vaksinasi dan pemotongan hewan hanya di RPH, diharapkan kasus anthrax bisa ditekan hanya pada hewan.

Awal tahun 2000, 


kejutan datang lagi dengan munculnya anthrax di peternakan burung unta (Struthio camelus), di Purwakarta, Jawa Barat, bahkan satu-per satu warga yang terserang anthrax bermunculan. Meski umumnya unggas tahan terhadap anthrax, burung unta termasuk satwa yang peka.

Anthrax begitu ditakuti, karena selain bersifat zoonotik (dapat menular pada manusia), bakteri penyebab anthrax Bacilus Anthracis, sulit dimusnahkan. Negara maju seperti Australia, Amerika dan Inggris pun tidak mampu membebaskan diri dari anthrax. Jadi, sekali saja anthrax masuk ke suatu wilayah, ancamannya terhadap hewan maupun manusia di daerah tersebut sepanjang masa.

Vaksinasi


Propinsi Bali merupakan satu-satunya wilayah bebas anthrax di Indonesia selama seabad terakhir. Untuk menjaga Bali tetap bebas anthrax, larangan pemasukan hewan dan bahan asal hewan dari daerah tertular yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, perlu dipertahankan. Di daerah bebas anthrax seperti Bali, tidak perlu dilakukan vaksinasi, bahkan dilarang melakukan vaksinasi berdasarkan pertimbangan teknik/metik.

Pada daerah endemik anthrax, tindakan eradikasi atau pemberantasan merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Soalnya B anthracis dapat membentuk spora sehingga tahan terhadap kondisi alam selama puluhan tahun di dalam tanah.

Untuk mengamankan hewan dan manusia dari ancaman anthrax, tindakan vaksinasi hanya dilakukan pada ternak peka anthrax. Di Indonesia, vaksin anthrax diproduksi oleh Pusat Veterinaria Farma, Wonocolo, Surabaya. Makin besar angka cakupan (coverage) vaksinasi pada suatu populasi ternak, makin kecil kemungkinan tertular.

Idealnya, vaksinasi dilakukan pada 100 persen populasi ternak di daerah tertular dan terancam, namun situasi di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Keterbatasan dana juga jadi alasan klasik, sehingga hanya sebagian kecil mendapatkan vaksinasi.

Setiap dinas peternakan mempunyai catatan mengenai kejadian anthrax di wilayah masing-masing. Prioritas vaksinasi perlu diberikan pada kantung-kantung penyakit, yakni tempat asal mula kejadian penyakit. Vaksinasi harus tetap dilakukan secara teratur, meskipun tidak ditemukan kasus dalam kurun puluhan tahun.

Pada manusia, vaksinasi anthrax tidak lazim dilakukan, kecuali pada kondisi khusus, misalnya dikhawatirkan pemakaian senjata biologi pada suatu perang, seperti terjadi pada Perang Teluk beberapa tahun lalu.

Studi mengenai ekologi anthrax oleh Van Ness, menggambarkan bahwa B anthracis mengalami perkembangbiakan di tanah sebelum menginfeksi ternak. Kejadian ini umumnya berlangsung pada musim kemarau panjang. Oleh karena itu, vaksinasi anthrax seyogianya dilakukan pada awal musim kemarau.

Salah satu fungsi rumah pemotongan hewan (RPH) adalah sebagai filter atau pengaman konsumen dari penularan penyakit zonotik. Kondisi RPH di kota-kota besar umumnya sudah memadai, namun sebagian besar RPH di tingkat kabupaten masih jauh dari higienik.

Pemeriksaan hewan yang dipotong di RPH diawali dari pemeriksaan sebelum hewan dipotong (ante mortem) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan sesudah hewan dipotong (post mortem). Dalam kondisi tertentu dilakukan juga pemeriksaan laboratorik. Hewan penderita anthrax akan segera dikenali oleh petugas pemeriksa daging terlatih di RPH, sehingga tidak dapat lolos sampai ke konsumen.

Kejadian di Purwakarta baru-baru ini, di mana penduduk mengambil daging burung unta tanpa khawatir tertular anthrax menunjukkan bahwa penerangan tentang bahaya anthrax belum sampai ke masyarakat.

Pemanfaatan lahan


Lahan yang tercemar anthrax, seperti daerah peternakan burung unta masih dapat dimanfaatkan untuk tanaman keras seperti pepohonan. Ternak di wilayah tersebut di samping divaksinasi juga perlu dibatasi jumlah populasinya, sehingga tidak kekurangan hijauan makanan ternak.

Pengalaman penulis menyidik anthrax di Sumba tahun 1980, di mana ratusan ternak mati dan 14 orang tertular, memberi pelajaran epidemiologi menarik. Selama musim kemarau panjang, rumput amat jarang sehingga ternak memakan rumput sampai ke akarnya. Pada akar tersebut terbawa pula tanah berikut spora anthrax yang mematikan ternak.

Burung unta yang ada di Purwakarta kemungkinan besar tertular anthrax lewat tanah yang termakan. Ada baiknya wilayah peternakan tertular anthrax diberi tulisan permanen bersifat peringatan bahwa daerah tersebut tertular anthrax. Melalui tindakan vaksinasi dan pemotongan hewan hanya di RPH, diharapkan kasus anthrax bisa ditekan hanya pada hewan.

Komentar